cs@carbontrading.co.id
Asal Usul dan Persebaran
Calophyllum inophyllum, dikenal juga sebagai nyamplung (Jawa), punaga (Sanskrit), tamanu, atau Alexandrian laurel, merupakan pohon tropis yang berasal dari tepi pantai wilayah Afrika Timur, Asia Selatan & Tenggara, Australia, dan Polinesia, termasuk Indonesia. Ciri khasnya adalah pertumbuhan di habitat pantai, toleransi terhadap angin dan salinitas, serta penyebaran biji secara alami melalui arus laut .
Dalam naskah-naskah keagamaan dan sastra klasik:
Kitab-kitab Ayurveda klasik (Charaka, Vagbhatta, Nigandu) menyebutnya dengan nama ‘Punnaga’ (latin: C. inophyllum)—dengan sinonim seperti Raktarenu, Sugandhi—dan dikatakan bunga punaga sebagai “suci milik Wisnu”, digunakan dalam ritual dan persembahyangan menurut Lalitha Sahasranama (liveayurvedalife.com).
Punnaga juga muncul dalam Purana dan Itihasa, berfungsi sebagai peneduh di taman suci (ashoka grove), dipandang membawa ketenangan spiritual (Wisdom Library). Pohon ini sering diasosiasikan dengan stabilitas dan meditasi, bahkan dalam tradisi Jain .
Menurut penelitian di Candi Mendut (Jawa Tengah), relief kayu suci menampilkan “Punnaga (nyamplung)” sebagai elemen peneduh di bangunan religius, sebagai bahan wewangian dan material obat tradisional (borobudur.kemdikbud.go.id). Ini menunjukkan akulturasi budaya Hindu-Buddha di Jawa kuno, di mana nyamplung memenuhi dualisme fungsi estetis dan terapeutik.
Dalam Ayurveda, hampir semua bagian pohon digunakan untuk berbagai indikasi: anti-perdarahan (raktapitta), luka (vrana), gangguan kulit, dan sistem reproduksi (liveayurvedalife.com). Secara etnobotani, studi modern dari UGM melaporkan nyamplung digunakan untuk mengobati penyakit kulit, luka, panas dalam, dan sakit kepala (Jurnal Universitas Gadjah Mada).
Di Polinesia, pohon ini ditanam di area suci (marae) dan sering diukir menjadi tiki—objek religius—serta hadir dalam legenda dan nyanyian rakyat .
Di tradisi India, bunga punaga menjadi bagian dari ajana (mahkota bunga Wisnu), menandakan kesucian dan kecantikan ritual .
Aspek | Detail |
---|---|
Nama | Nyamplung (Jawa), Punaga (Sanskrit), Tamanu, Alexandrian laurel |
Asal distribusi | Pantai tropis Indonesia |
Penggunaan tradisional | Penghasil minyak, aromatik dalam ritual, obat herbal |
Catatan kuno | Ditemukan dalam kitab Ayurveda, Purana, relief Candi Mendut |
Makna simbolis | Kesucian, meditasi, simbol spiritual |
Punaga, atau yang dalam tradisi Jawa dikenal sebagai nyamplung, adalah pohon pantai tropis yang telah berakar jauh dalam budaya dan kepercayaan masyarakat sejak masa kuno. Dari pantai Asia hingga kepulauan Oseania, nyamplung menjadi teman pelayaran dan simbol migrasi Austronesia. Nama alaminya—punaga—berselimutkan kesucian dalam kitab suci Ayurveda dan Purana, menyatu dalam ritual spiritual sebagai bunga Wisnu dan peneduh suci di taman-taman suci.
Di Jawa kuno, seperti terlihat dari relief Candi Mendut, punaga berfungsi ganda: menyajikan estetika keindahan dan keharuman, namun juga berperan sebagai bahan pengobatan tradisional. Khasiat pengobatan nyamplung, seperti anti-perdarahan, penyembuh luka, dan pengobatan kulit, tercatat jelas sejak teks kuno hingga riset modern di UGM menghasilkan bukti ilmiahnya.
Warisan nyamplung bukan hanya soal estetika—ia adalah cerminan perpaduan fungsi biologis, nilai ekonomi, dan dimensi spiritual. Di setiap helai daunnya terkandung kisah panjang perjalanan manusia, iman, dan kemajuan ilmu pengetahuan.
Pohon Nyamplung (Calophyllum inophyllum) adalah spesies pohon tropis dari famili Calophyllaceae, yang tumbuh secara alami di wilayah pesisir Samudra Hindia dan Pasifik. Di Indonesia, pohon ini tumbuh di pesisir dan daerah kering seperti Nusa Tenggara, Sulawesi, Kalimantan, Jawa bagian selatan, dan Papua.
Secara ekologis, Nyamplung dikenal sebagai pohon pionir yang mampu tumbuh di lahan tandus, pesisir, dan tanah marginal. Pohon ini juga memiliki potensi tinggi dalam menyerap karbon dan menghasilkan biji berminyak yang dapat diolah menjadi biofuel, briket, dan biochar.
Nama “Nyamplung” berasal dari bahasa Jawa, yang dalam beberapa dialek juga disebut “Tamanu” (nama Polinesia), “Punna” (India), atau “Bintangur” (bahasa lokal Sulawesi). Dalam kepercayaan masyarakat pesisir Jawa dan Madura, pohon ini dianggap memiliki nilai spiritual dan perlindungan magis, khususnya jika tumbuh dekat makam atau situs keramat.
Nama Sunan Nyamplungan merujuk pada salah satu tokoh Wali Murid (pengikut utama para Wali Songo), yang bernama asli Raden Noer Iman, putra dari Sunan Muria (Raden Umar Said) — salah satu anggota Wali Songo. Ia dikenal sebagai penyebar Islam di wilayah pesisir selatan Jawa, terutama kawasan Karimunjawa, Jepara, dan sekitarnya.
Sunan Nyamplungan diyakini mengajarkan bahwa menanam pohon adalah bagian dari ibadah dan perintah menjaga bumi (khalifah fil-ardh). Ajaran ini menjadi penting dalam konteks modern saat nilai-nilai Islam ramah lingkungan menjadi bagian dari ekoteologi.
© PT. Pandu Wijaya Negara. All Rights Reserved.